“Maqāshid al-Shari'ah” Metode Analisis Sistem dalam Filsafat Hukum Islam

No Comments


“MAQĀSHID AL-SHARI’AH” METODE ANALISIS SISTEM DALAM FILSAFAT HUKUM ISLAM (Studi Pemikiran Jasser Auda)


Oleh: Mukh. Sumaryanto

Mata Kuliah         : Pendekatan dalam Pengkajian Islam

Dosen Pembimbing : Drs. Yusdani, M.Ag. (Program Pasca Sarjana Magister Studi Islam Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia)

A. Pendahuluan

Hukum Islam atau fiqh dalam kajian historis merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini berkaitan dengan munculnya beberapa madzhab hukum Islam yang beraneka ragam yang memiliki corak masing-masing sesuai dengan latar belakang sosiokultural dan politik di mana madzhab itu tumbuh dan berkembang.[1]

Hukum Islam bagi Jasser Auda harus mampu memberikan jawaban atas problem kontemporer, bukan justru berseberangan sebagaimna akhir-akhir ini wajah Islam ditampilkan dengan teroris medan kualitas hidup umat Islam dengan tingkat capaian Human Developmen Indexs (HDI) yang rendah. 

Jasser Auda mempertanyakan tindakan teroris atas nama hukum Islam, ketika aksi teror terjadi pada berbagai kota. Jasser mengangap bahwa hal itu merupakan sebuah tindakan kriminal yang mengatasnamakan hukum Islam, oleh beberapa orang yang merasa bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Realitas tersebut bertentangan dengan tujuan hukum Islam yang memiliki peran sebagai pendorong bagi masyarakat supaya adil, produktif maju, manusiawi, spiritual, bersih, kohesif, ramah dan demokratis. 

Persoalan utama yang kini dihadapi dunia Islam adalah partisipasi politik dan demokratisasi, sistem ekonomi dan pendidikan yang gagal, berkembangnya ancaman ekstrimis religius (fundamentalis), dampak globalisasi, serta memupuk pluralisme dan pemahaman modern atas toleransi yang didasarkan pada sikap saling memahami. Bahkan menurut hasil survei United Nation Development Programme (UNDP) disebutkan bahwa indeks pertumbuhan manusia di dunia yang berpenduduk mayoritas muslim memperlihatkan tingkat yang sangat rendah. Rendahnya indeks pertumbuhan ini disebabkan oleh beberapa faktor penting, diantaranya masalah buta huruf[2], pendidikan, partisipasi ekonomi dan politik, pemberdayaan perempuan dan partisipasi mereka di panggung politik atau ruang publik.[3]

Realitas dunia Islam seperti itu menggelitik Jasser Auda untuk mempertanyakan kembali tentang syariat Islam; dimanakah syariat Islam sekarang ini? Bagaimana syariat Islam mampu memainkan peran positif dalam mensikapi krisis yang sedang dihadapi dunia Islam? Apakah ada masalah dalam syariat Islam?

B. Pembahasan

1. Historisitas Maqāshid al-Shari’ah

Diskursus Maqāshid al-Shari’ah yang dilontarkan Jasser Auda sebenarnya bukanlah hal yang baru, namun sudah ada sejak zaman keilmuan Islam mencapai keemasan. Dalam lintasan sejarah banyak ulama-ulama klasik dan ulama kontemporer yang aktif mengkaji Maqāshid al-Shari’ah tersebut yang dikenal dengan sebutan Mashālih.

Sejarah mencatat bahwa konsep Maqāshid al-Shari’ah sudah ada sejak akhir abad ke-3 melalui karya Imam Turmudzi yang berjudul al-salah wa maqāshiduhu. Kemudian dilanjutkan Imam Abu Bakar al-Qaffal (w.365 H) yang menulis buku Mahāsin al-Shari’ah. Seorang ulama syiah yang bernama Abu Ja’far Muhammad bin Ali juga memberi andil tentang isu-isu Maqāshid melalui karyanya.

Setelah itu ada juga Abu Hasan Al-Amiri (w.381 H), kemudian al-Juwayni, as-Syatibi dan masih banyak ulama-ulama lainnya. 

2. Teologi, Kausalitas dan Irasional

Kemajuan besar dalam sains sering kali menggiring ke arah pergeseran utama dalam paradigma filsafat. Filsafat agama sejak pertengahan, melakukan intrepretasi ulang terhadap teori teologis menjadi teori tentang tujuan-tujuan Tuhan, begitu juga dengan filsafat Islam.

C. Kerangka Teori Dasar

Pendekatan dalam kajian Islam :

1. Pendekatan Sistem

Sistem adalah disiplin baru yang independen, yang melibatkan sejumlah dan berbagai sub-disiplin. Teori Systems dan Analisis Sistemik adalah bagian tak terpisahkan dari tata kerja pendekatan Systems. Teori Systems adalah jenis lain dari pendekatan filsafat yang bercorak ‘anti-modernism’ (anti-modernitas) yang mengkritik modernitas dengan cara yang berbeda dari cara yang biasa digunakan oleh teori-teori postmodernitas. Konsep-konsep dasar yang biasa digunakan dalam pendekatan dan analisis Systems antara lain adalah melihat persoalan secara utuh (Wholeness), selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan perbaikan dan penyempurnaan (Openness), saling keterkaitan antar nilai-nilai (Interrelated-Hierarchy), melibatkan berbagai dimensi (Multidimensiona-lity) dan mendahulukan tujuan pokok (Purposefulness).

Masih terkait dengan Systems sebagai disiplin baru adalah apa yang disebut dengan Cognitive science, yakni bahwa setiap konsep keilmuan apapun – keilmuan agama maupun non-agama – selalu melibatkan intervensi atau campur tangan kognisi manusia (Cognition). Konsep-konsep seperti klasifikasi atau kategorisasi serta watak kognitif (cognitive nature) dari hukum akan digunakan untuk mengembangkan konsep-konsep fundamental dari teori hukum Islam[4]

Pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: pertama, memvalidkan semua pengetahuan, kedua, menggunakan prinsip holistik, ketiga, keberanian membuka diri dan melakukan pembaharuan, keempat, mengukur qath’i dan ta’ārud dari sisi ketersediaan bukti pendukung dan penentuan skala prioritas berdasarkan kondisi sosial yang ada dan bukan dari verbalitas teks, dan kelima, mengambil maqāsid sebagai penetapan hukum Islam.

2. Pendekatan maqāshid 

Adalah pendekatan teori fiqh yang bersifat holistik (kulliyun) dan tidak membatasi pada teks ataupun hukum parsialnya saja. Namun lebih mengacu pada prinsip-prinsip tujuan universal. Pendekatan dengan menggunakan pemahaman maqashid bernilai tinggi dan dapat mengatasi berbagai perbedaan seperti gap antara sunni dan shiah, ataupun gap politik umat Islam. Maqashid merupakan sebuah budaya yang sangat diperlukan untuk konsiliasi umat, sehingga mampu hidup berdampingan secara damai.[5]

Menurut Jasser Auda,[6] klasifikasi tradisional maqāshid dibagi menjadi tiga level kebutuhan, yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Setelah maqāshid berkembangselama berabad-abad, para ahli maqhasid kontemporer mengkritik klasifikasi tradisionalkebutuhan dengan beberapa alasan berikut:

a. Ruang lingkup maqāshid tradisional adalah seluruh hukum Islam. Namun, mereka gagal untuk memasukkan tujuan tertentu untuk setiap aturan hukum.

b. Maqāshid tradisional lebih konsen terhadap persoalan individu daripada keluarga, masyarakat, dan seluruh umat manusiapada umumnya.

c. Klasifikasi maqāshid tradisional tidak memasukkan nilai-nilai yang paling universal dan mendasar, seperti keadilan dan kebebasan.

d. Maqāshid tradisional disimpulkan hanya dari studi Fiqh daripada dari sumber-sumber asli.

Jaser Auda sepakat dengan ulama lain yang membagi Maqhasid menjadi tiga bagian utama:[7]

a. Maqāshid Umum

Maqāshid umum adalah tujuan-tujuan (prinsip) umum yang ada di seluruh aspek syariat atau sebagian besarnya, seperti prinsip toleransi, kemudahan, keadilan dan kebebasan. Oleh karena itu, maslahah yang primer -yang mencakup kewajiban menjaga agama, jiwa, akal, nasab, harta dan kehormatan- itu masuk dalam bagian maqhasid umum ini.

b. Maqāshid Khusus

Maqāshid khusus adalah beberapa tujuan syariat yang ada pada salah satu bab/bagian dari beberapa bab syariat, seperti adanya sanksi/hukuman dalam bab jinayah (pidana) ada bertujuan membuat jera.

c. Maqāshid Parsial

Maqāshid parsial adalah terkadang merupakan sebuah hukum atau asrār (rahasia) yang dimaksud oleh syariat secara langsung terhadap sesuatu hukum yang parsial,seperti tujuan dari rukhṣah (keringanan) tidak puasa bagi yang tidak mampu adalah menghilangkan kesulitan.

D. Temuan (The Result)

Enam analisis sistem yang diusulkan Jasser Auda :

1. Sifat Kognitif (Cognitive Nature) Sistem Hukum Islam

Yang dimaksud sistem ini adalah sifat atau watak yang membangun sistem hukum Islam. Hukum Islam ditetapkan berdasarkan pengetahuan seorang faqih terhadap teks-teks yang menjadi sumber rujukan hukum Islam. Untuk membongkar validasi semua kognisi (pengetahuan-pengetahuan tentang teks dan nash), [8] Auda menekankan pentingnya memisahkan teks (al-Qur’an dan al-Sunnah) dari seseorang terhadap pemahaman teks, sehingga ada perbedaan makna antara syariah, fiqh dan fatwa.

2. Keutuhan Integritas (Wholeness) Sistem Hukum Islam

Berdasarkan perspektif teori sistem, Jasser Auda menyatakan bahwa setiap hubungan sebab akibat harus dilihat sebagai bagian-bagian dari holistik (gambaran keseluruhan). Hubungan antara bagian-bagian itu memainkan fungsi tertentu di dalam sebuah sistem. Jalinan antar hubungan terbangun secara menyeluruh dan bersifat dinamis, bukan sekadar kumpulan antar bagian yang statis.

3. Keterbukaan (Openness) Sistem Hukum Islam

Sistem hukum Islam merupakan sistem yang terbuka, maka dari itu, prinsip ini sangat penting dalam tatanan hukum Islam dan pintu ijtihad senantiasa terbuka. Pernyataan yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup, hanya akan menjadikan hukum Islam bersifat statis. Padahal ijtihad merupakan hal yang urgen dalam masalah fiqh, sehingga para ahli hukum Islam mampu mengembangkan mekanisme dan metode tertentu untuk menghadapi isu-isu kontemporer.[9]

4. Interrelasi Hierarki (Interrelated Hierarchy) Sistem Hukum Islam

Menurut ilmu Kognisi (Cognitive science), ada 2 alternasi teori penjelasan tentang kategorisasi yang dilakukan oleh manusia, yaitu “feature - based categorisations” dan “concept-based categorisations”.

Jasser Auda lebih memilih kategorisasi yang berdasarkan konsep untuk diterapkan pada Usul-al Fiqh. Kelebihan “concept based categorisations” adalah tergolong metode yang integratif dan sistematik. Selain itu, yang dimaksud “concept” di sini tidak sekedar fitur benar atau salah, melainkan suatu kelompok yang memuat kriteria multi-dimensi, yang dapat mengkreasikan sejumlah kategori secara simultan untuk sejumlah entitas-entitas yang sama. Salah satu implikasi dari fitur interrelated-hierarchy ini adalah baik daruriyyat, hajiyyat maupun tahsiniyyat, dinilai sama pentingnya. Lain halnya dengan klasifikasi al-Syatibi (yang menganut feature-based categorizations), sehingga hirarkhinya bersifat kaku. Konsekwensinya, hajiyyat dan tahsiniyyat selalu tunduk kepada daruriyyat. Contoh penerapan fitur Interrelated- hierarchy adalah baik salat (daruriyyat), olah raga (hajiyyat) maupun rekreasi (tahsiniyyat) adalah sama-sama dinilai penting untuk dilakukan.[10]

5. Multi-Dimensi (Multi-Dimensionality) Sistem Hukum Islam

Sebuah sistem bukanlah sesuatu yang tunggal, namun terdiri dari beberapa bagian yang saling berkaitan. Di dalam sistem terdapat struktur yang koheren, karena sebuah sistem terdiri dari bagian-bagian yang cukup kompleks yang memiliki spektrum dimensi yang tidak tunggal. Hal ini juga berlaku dalam hukum Islam. 

Prinsip ini digunakan Jasser Auda untuk memberi kritik terhadap akar pemikiran binary opposition.

6. Tujuan (Purposefulness) Sistem Hukum Islam

Setiap sistem memiliki tujuan, dalam teori sistem tujuan dibagi menjadi dua, yaitu: goal (al-Hadad) dan purpose (al-Ghayyah). Sebuah sistem akan menghasilkan goal jika hanya menghasilkan tujuan dalam situasi konstan, bersifat mekanistik dan hanya dapat melahirkan satu tujuan saja. Sedangkan sebuah sistem akan menjadi purpose jika mampu menghasilkan tujuan dengan cara yang berbeda-beda dan dalam hal yang sama atau menghasilkan berbagai tujuan dalam situasi beragam.

Contoh dari pendekatan yang dikemukakan oleh Jasser Auda di sini adalah persoalan diyat. Diyat dalam pada masa Rasulullah Nabi Saw. ditetapkan dalam bentuk seratus ekor unta. Meskipun Nabi Saw telah menentukan bentuk diyat yang harus dibayarkan, tetapi khalifah Umar-sepeninggal beliau-mengubahnya sesuai dengan jenis harta yang berkembang di tempat. Untuk di tanah jazirah (Arab) berupa binatang unta; di wilayah Syam dan Mesir diberlakukan diyat dalam bentuk emas; sementara di wilayah Irak diubah dalam bentuk uang setempat. Keputusan yang dilakukan khalifah Umar untuk mengubah bentuk diyat yang harus dibayarkan kedalam ukuran-ukuran lainnya ini, semata-mata mengacu dan mempertimbangkan aspek situasi setempat.[11]

Menurut Jasser Auda, agar syariah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemasahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan zaman kekinian, maka cakupan dan dimenasi teori maqāshid seperti yang telah dikembangkan pada hukum Islam klasik harus diperluas. Yang semula terbatas pada kemaslahan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih umum; dari wilayah individu menjadi wilayah masyarakat atau umat manusia dengan segala tingkatannya. Dari perlindungan keturunan (hifz al-nasl) menjadi perlindungan keluarga (hifz al-usrah); dari perlindungan akal (hifz al-aql) menjadi pewujudan berpikir ilmiah atau pewujudan semangat mencari ilmu pengetahuan; dari perlindungan jiwa (hifz al-nafs) menjadi perlindungan kehormatan manusia (hifz al-karāmah al-insāniyah) atau perlindungan hak-hak manusia (hifz huqūq al-insān); dari perlindungan agama (hifz al-dīn) menjadi perlindungan kebebasan berkeyakinan (hurriyah al-I’tiqa>d); dari perlindungan harta kekayaan (hifz al-māl) menjadi pewujudan solidaritas sosial.[12]

E. Kontribusi Terhadap Pengembangan Studi Islam

Jasser Auda berusaha menawarkan konsep fiqh modern berdasarkan Maqāsid al- Shari’ah. Dalam pandangan Jasser Auda Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, Islam juga sebagai agama konsep yang berusaha memberikan solusi untuk kehidupan manusia agar selaras dan seimbang. Hal inilah yang berusaha diangkat oleh Jasser bagaimana sebuah konsep sistem dapat mengatur kehidupan umat Islam agar berjalan sesuai aturan dan memberi manfaat bagi manusia. Dalam Maqāsid al-Shari’ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Jasser Auda mengartikan Maqasid pada empat arti, pertama, Hikmah dibalik suatu Hukum. Kedua, tujuan akhir yang baik yang hendak dicapai oleh Hukum. Ketiga, kelompok tujuan ilahiyah dan konsep Moral yang menjadi basis dari hukum. Keempat, Mashālih. Dalam konsep Maqāsid yang ditawarkan oleh Jasser Auda, nilai dan Prinsip kemanusian menjadi pokok paling utama.

Dalam Maqāshid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: A System Approach, Jasser Auda juga berusaha mengkonstruk ulang konsep Maqashid lama yang bersifat protection and preservation menuju pada teori maqāshid yang mengacu pada development and rights.

Maqāsid syariah sebagai filsafat hukum Islam dengan pendekatan sistem memberikan hal baru karena memasukkan berbagai disiplin ilmu untuk menghasilkan sebuah hukum Islam (fiqh) dan meletakkan tujuan hukum sebagai dasar mengapa sebuah hukum ada. Karena permasalah fiqh kontemporer sangat berbeda sekali dengan masa lampau kerena perkembangan sains dan teknologi.

F. Penutup 

Karya besar Jasser Auda yang berjudul “Maqashid al-shari’ah as philosophy of Islamic Law: a Syistems Approach” adalah sebuah karya fenomenal yang ingin mendobrak paradigma lama tertutupnya pintu ijtihad. Karya monumental ini merupakan sebuah pendekatan kekinian yang lahir dari alam modern dan mencoba menjawab tantangan umat Islam yang berkenaan dengan isu-isu kontemporer.

Teori-teori yang disampaikan oleh para bapak ahli teori sistem seperti Bertalanffy, Katz dan Kahn, Ackoff, Churchman, Boulding, Maturana dan Varela, Luchmann, Beer, Skyttner menjadi pilar inspirasi Auda dalam mengkaji filsafat hukum Islam dengan pendekatan analisis sistem.

Pendekatan analisis sistem hukum Islam tersebut meliputi 6 karakteristik, yaitu : sifat kognitif, integritas, keterbukaan, hirarki yang saling terkait, multidimensi dan memiliki tujuan. Dengan sistem tersebut, Jasser Audah menawarkan metodologi hukum Islam yang bermanfaat bagi umat Islam untuk kehidupan yang lebih adil, sejahtera, saling menghormati, penuh rahmat dan penuh kedamaian.

G. Kritik Penulis Makalah 

Hukum Islam melalui Pendekatan sistem yang dilakukan oleh Jasser Auda dapat menimbulkan keberagaman interpretasi. Meskipun perbedaan tersebut bergantung kepada masing-masing individu, namun akan mengalami benturan ketika dibawa ke ranah publik. Perbedaan ini tentu akan menghasilkan alternatif-alternatif pemecahan masalah namun dapat juga menjadi jalan pintas untuk mencari kemudahan-kemudahan dalam urusan agama. Secara keseluruhan buku ini dapat menjadi rujukan dalam menghadapi persoalan-persoalan modern mengingat Jasser Auda menggunakan multidisiplin ilmu sehingga semua kemudharatan dapat diantisipasi berdasarkan maqāsid al-syari’ah.

H. Referensi/Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. 2012. Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam Merespon Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi (Pemikiran Filsafat Keilmuan Agama Islam Jasser Auda). Media Syariah

Jasser Auda. 2008. Maqāshid al-Shari’ah as philosophy Islamic Law a System Approach. Herndon: IIIT

Maksum. 2014. Book Review Maqāsid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law A System Approach. UII

Rahman, Fazrur. 1994. Islam (terj.) Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka



[1] Fazrur Rahman, Islam (terj.) Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994) hlm. 24.
[2] Zaqzouq menyebutkan bahwa dunia Islam pada umumnya masih berkutat pada pengentasan masyarakat dari buta huruf; rata-rata tidak kurang dari 40 %. Bahkan di beberapa Negara Islam tingkat buta huruf masyarakat mencapai lebih dari 60 %. Lihat, Zaqzouq, al-Islām fī ‘Asr al-‘Aulamah, hlm. 29-30.
[3] Jasser Auda, Maqāsid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, (London: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hlm. xxii.
[4] Maksum, Book Review Maqāshid al-Shariah as Philosophy of Islamic Law A System Approach, (UII : 2014), hlm. 12-13.
[5] Sutrisno Rachmat, Maqāsid al-Syari’ah sebagai Filsafat Hukum Islam, dalam Sunan Giri–Jurnal Kajian Keislaman, Vol. 1 No. 1, hlm. 28.
[6] Jasser Auda, Maqāshid al-Shariah: A Beginner’s Guide (United Kingdom: The International Institute of Islamic Thought, 2008), hlm. 3-4.
[7] Jasser Auda, Maqāsid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, hlm. 5.
[8]Ibid., hlm. 45-46.
[9] Ibid, hlm. 47-48.
[10] M. Amin Abdullah, Epistemologi Keilmuan Kalam dan Fikih dalam Merespon Perubahan di Era Negara-Bangsa dan Globalisasi (Pemikiran Filsafat Keilmuan Agama Islam Jasser Auda), Vol. XIV, (Media Syariah, 2012), hlm. 28.
[11] Jasser Auda, Maqāsid al-Shari’ah as Philosophy of Islamic Law: a Systems Approach, hlm. 43.
[12] Ibid., hlm. 21-24.